Satu lagi tradisi yang masih dilestarikan hingga sekarang, tepatnya di Kabupaten Demak kota dengan julukan kota wali. Tradisi ini dikenal dengan tradisi "Grebek Besar". Tradisi yang dilaksanakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah (Besar) atau bertepatan dengan hari raya idul adha. Lalu bagaimana asal usul dan pelaksannanya, ini yang akan dibahas selanjutnya sobat blogger.
“Grebeg Besar” adalah murni hasil ciptaan para wali. awal mula pelaksanaannya
dimulai setelah walisongo angkatan I mengadakan sidang di serambi Masjid Agung
Ampel Dento Surabaya, keputusannya sebagai berikut :
“NGENANI ANANE SOMAWONO KIPRAH
MEKARE TSAQOFAH HINDU ING NUSA SALALADANE, JUWAJIBAN PORO WALI AREP ALAKU TUT
WURI ANGISENI. DARAPUN SUPOYO SANAK-SANAK HINDU MALAH LEGO-LEGOWO MANJING
ISLAM. Artinya : “Dengan adanya
perkembangan ajaran Hindu di pulau wilayah ini, tugas para wali dakwah
menyesuaikan adat istiadat setempat sambil mengisi nafas Islam, agar supaya
masyarakat Hindu hatinya rela dan tulus ikhlas masuk Islam”.
(sumber : visitjawatengah.jatengprov.go.id)
Gerbeg berasal dari bahasa jawa yang berarti suara angin yang menderu. Kata bahasa Jawa (h)
anggarebeg, mempunyai arti mengiring raja, pembesar atau pengantin. Grebeg
uga bisa diartikan digiring, dikumpulkan, dan dikepung. Jadi grebeg bisa
berarti dikumpulkan dalam suatu tempat untuk kepentingan tertentu atau bersifat khusus. Sedangkan Grebeg
Besar yang terkenal di Demak, kata “Besar” adalah mengambil nama
bulan yaitu bulan Besar (Dzulhijah).
Maka makna Grebeg Besar adalah
kumpulnya masyarakat Islam pada bulan Besar, sekali dalam setahun yaitu untuk
suatu kepentingan da’wah Islamiyah di Masjid Agung Demak.
menurut cerita leluhur atau sesepuh lingkungan Masjid Agung Demak bahwa
dahulu kala para raja Jawa selalu menyelenggarakan selamatan kerajaan (bahasa
Jawa = wilujengan nagari) setiap tahun baru dan disebut Rojowedo, artinya kitab
suci raja atau kebajikan raja. Disebut pula, ada yang mengatakan Rojomedo,
artinya hewan korban kerajaan. Tujuan selamatan kerajaan yang
hakikatnya adalah suatu cara korban agar Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan
perlindungan, keselamatan kepada raja dan kerajaan serta rakyatnya.
Dalam peristiwa itu, rakyat
datang menghadap raja untuk menyampaikan sembah baktinya. Raja keluar dari
keratin lalu duduk di singgasana keemasan (bahasa jawa=dhampar kencono) di
bangsal Ponconiti. Penampilan raja untuk menerima sembah bakti rakyat yang datang
mengahadap (bahasa jawa=sowan), diiringi (bahasa jawa=ginarebeg) oleh para
putra dan segenap punggawa Keraton.
Dalam Babad Jawa Jaka Tingkir
dijelaskan: Sudah menjadi kelaziman pada setiap peringatan Maulid Nabi selalu
diadakan pembacaan riwayat Nabi, pembacaan syair lagu-lagu yang merdu silih
berganti. Seusai peringatan, dilanjutkan musyawarah antara Sultan Demak dan
para Wali Agung, kemudian dilanjutkan tahlilan dan akhirnya santap bersama.
Keesokan harinya diadakan upacara grebegan, Sultan Demak mengadakan paseban di setinggil Demak. Dalam grebegan tadi, Sultan di singgasana Manikwungu menghadap ke utara, kiri kanan Sultan duduk para wali pawingking, para pandhita berada di Masjid sedangkan para Ulama, abid (orang yang ahli ibadah), sulaka (salik yaitu orang yang meng-fokuskan hidupnya hanya untuk mendekatkan diri pada Allah SWT), puhaka (ahli fiqih/syariat Islam) berada di serambi masjid dan halaman. (Babad Jaka Tingkir, 1981:78)
Tak lama setelah Raden Fatah
dinobatkan menjadi Sultan pertama kasultanan Demak dengan gelar Kanjeng Sultan
Raden Abdul Fattah Al Akbar Sayyidin Panatagama, baginda langsung menghapuskan
adat menyelenggarakan upacara kurban yang selalu dilakukan oleh para raja
Jawa-Hindu terdahulu. Sebab adat yang seperti itu, dinilai bertentangan dengan
aqidah Islam.
Penghapusan adat itu
menimbulkan keresahan sebagian kalangan rakyat, sebab rakyat yang selama
berabad-abad turun-temurun sudah terbiasa hidup dengan adat dari kepercayaan
lama, belum dapat menerima sikap rajanya yang baru itu. Keresahan tersebut
menimbulkan gangguan keamanan Negara, sebab khawatir timbul wabah penyakit
menular. Atas saran para wali, adat kepercayaan lama itu agar dihidupkan
kembali, namun diberi warna keislaman yaitu hewan kurban disembelih menurut
aturan agama Islam. Awal dan akhir doa selamatan berupa do’a Islam yang
dipanjatkan oleh Sunan Giri dan Sunan Bonang.
Para wali giat berda’wah,
penyebaran agama Islam awalnya tidak banyak mengalami kemajuan. Hal ini bisa
dilihat dengan masih sedikitnya jumlah santri. Sebagian besar rakyat terutama
masyarakat pedesaan enggan untuk mengucapkan syahadat sebgai pernytaan memeluk
agama Islam.
Akhirnya para wali
bermusyawarah, dan mereka sependapat untuk menginsyafkan rakyat akan kebenaran
ajaran agama Islam, haruslah dilakukan secara bertahap, dengan penuh kearifan,
bersikap sopan santun, ramah tamah dalam berda’wah dan tanpa mencela adat serta
unsur-unsur kebudayaan rakyat bahkan seharusnya memanfaatkan unsur-unsur
kebudayaan rakyat sebagai sarana da’wah, terutama dengan, dengan memanfaatkan
bahasa, adat-istiadat dan kesenian rakyat. Para wali menemukan taktik da’wah
“TUT WURI ANGISENI” Artinya memakai dan menghormati kebudayaan yang ada, untuk
memudahkan syiar agama Islam. Istilah lainnya, JOWO DIGOWO, ARAB DIGARAP.
Sunan Kalijaga mengetahui bahwa
pada waktu itu rakyat menyukai perayaan dan keramaian yang dihubungkan dengan
upacara keagamaan. Apalagi jika perayaan dan keramaian ada juga irama gamelannya, tentu saja akan
sangat menarik perhatian rakyat untuk datang melihatnya. Akhirnya timbullah
gagasan Sunan Kalijaga supaya kerajaan menyelenggarakan perayaaan dan keramaian
setiap menyongsong hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan Rabiul Awal.

(sumber : antaranews.com)
Untuk menarik perhatian rakyat
agar mau datang ke Masjid Besar, maka dibunyikanlah gamelan yang ditempatkan di
halaman masjid. Setelah berkumpul maka para wali dapat berda’wah langsung
dihadapan rakyat.
Meski membunyikan gamelan di
lingkungan masjid itu ada yang menghukumi makruh, namun dengan menggunakan azas
manfaat dan hikmah demi kelancaran syiar Islam, maka Sunan Kalijaga dari
ijtidahnya, berani menghukumi mubah/boleh dikerjakan. Pendapat Sunan Kalijaga
itu dapat diterima majelis Walisongo. Sultan Fatah pun akhirnya menyetujui pelaksanaan
gagasan Sunan Kalijaga.
Maka dalam bulan Rabiul Awal,
12 (dua belas) hari sebelum kelahiran Nabi, diselenggarakan perayaan dan
keramaian yang disebut Sekaten. Di halaman Masjid Besar didirikan tempat khusus
untuk menaruh dan membunyikan gamelan yang disebut pagongan. Pagongan adalah tempat
gong (gamelan) yang dibuat oleh Sunan Giri. Konon sebagian dari
gendhing-gendhing (lagu) gamelan diciptakan oleh Sunan Giri dan sebagian lagi
oleh Sunan Kalijaga.
Selama 12 hari (dua belas) hari
gamelan diperdengarkan terus menerus, kecuali pada waktu-waktu sholat dan pada
malam jum’at sampai lewat sholat Jum’at.
Grebeg Besar dan Sejarah Kota
Wali tak bisa disangkal lagi jika membuat orang Demak akan membanggakan dirinya
sebagai warga Kota Wali. Catatan sejarah Kabupaten Demak memang tidak lepas
dari perjuangan para wali (walisongo) dalam kegiatan menyebarkan agama Islam
pada abad XV, yaitu keberadaan Demak sebagai pusat kerajaan Islam (Kasultanan
Bintoro) di Pulau Jawa dengan ”masterpieces”nya adalah Sunan Kalijaga dan Sultan
Fatah yang diakui merupakan tokoh-tokoh besar dan berpengaruh dalam lintas
sejarah Kabupaten Demak.
Tidaklah mengherankan jika
kemudian beragam acara ritual yang dimulai atau diperkenalkan oleh kedua tokoh
tersebut masih berlangsung sampai saat ini dan menjadi semacam upacara ritual
yang selalu dinantikan orang, tidak hanya oleh para warga kota wali sendiri
tetapi juga dari luar daerah. Pada masa Sunan Kalijaga
menjadi penasihat spiritual Sultan Bintoro, khususnya pada masa emas kejayaan
pemerintahan Sultan Fatah. Beliau antara lain menyelenggarakan Grebeg Besar
sebagai media da’wah. Tradisi ini diselenggarakan tiap tanggal 10 Dzulhijjah bersama
dengan datangnya peringatan Hari Raya Idul Adha (Qurban). Hanya saja sebetulnya Grebeg
Besar ini pada masa pertama kalinya mulai dilaksanakan di Demak, tidak hanya
sekali setahun pada saat Idul Adha. Tetapi memang menurut catatan sejarahnya,
semula tradisi Grebeg Besar ada empat, yaitu Grebeg Maulid, Grebeg Dal, Grebeg
Syawal, dan Grebeg Besar.
Adapun sampai kini masih
berlangsung di Demak adalah Grebeg Besar. Sementara di luar Grebeg besar yang
kini masih dilestarikan adalah di kerajaan Solo, Yogyakarta dan Cirebon.
Adapun Grebeg Besar sampai
sekarang masih menjadi bagian dari tradisi bernilai jual (selling point)n yang
rutin diselenggarakan, tampaknya dipengaruhi oleh beberapa factor utama yaitu
sosio-ekonomi-religi.
Acara Grebeg Besar Demak
mempunyai urutan tata cara perayaan sebagai berikut :
1. Diawali dengan saling
bersilaturahmi antara pihak Kasepuhan Kadilangu dengan Bupati dan Wakil Bupati
Demak, beserta jajaran Muspida Demak. Bupati Demak bersama rombongan
bersilaturahmi ke Kasepuhan Kadilangu yang ditempatkan di Pendopo Noto Bratan
Kadilangu Demak. Selanjutnya, sesepuh Kadilangu dan keluarga Kasepuhan
bersilaturhmi ke Kabupaten Demak dan biasanya mereka diterima Bupati di ruang
tamu Kadipaten Demak.
2. Setelah silaturahmi, Bupati,
Wakil Bupati, DPRD, Muspida Demak dan jajaran pemerintah Kabupaten Demak ziarah
ke makam-makam leluhur Sultan Bintoro di kompleks Masjid Agung Demak, dan
dilanjutkan ziarah ke makam Sunan Kalijaga.
3. Kemudian Bupati, Wakil
Bupati, DPRD, Muspida Demak meresmikan pembukaan keramaian Grebeg Besar di
lapangan Tembiring Jogo Indah.
4. Pada malam menjelang Idul
Adha diadakan upacara Tumpeng Walisongo/Sembilan yang menggambarkan jumlah 9
wali (walisongo), diserahkan Bupati Demak kepada Takmir Masjid Agung Demak
untuk dibagikan kepada para pengunjung.
5. Tepat pada tangaal 10
Dzulhijjah diadakan acara penjamasan Kotang Ontokusumo yang dimulai setelah
selesai Sholat Idul Adha. Penjamasan dimulai dari Pendopo Kabupaten Demak dengan
penyerahan minyak jamas oleh Bupati kepada Manggala Prajurit yang akan
membawanya ke Kadilangu dengan dikawal prajurit patang puluhan yang berjalan
kaki dengan berjarak 2 Km. Bupati sekeluarga beserta para pejabat Pemerintah
kabupaten Demak turut mengantar minyak jamas dengan menaiki kereta Kencana.
Sesampainya di Kadilangu, minyak jamas diterima oleh Sesepuh Kadilangu
selanjutnya digunakan untuk menjamas Kotang Ontokusumo dan Keris Kyai Crubuk.
Labels:
Info Tradisi
0 Komentar untuk "Mengenal Sejarah Tradisi Grebek Besar Di Demak"